Ayo Menulis!"
"Orang yang memiliki kebiasaan menulis memiliki kondisi mental lebih
sehat dibandingkan dengan mereka yang tidak melakukannya. "
-- James Pennebaker, Ph.D., dan Janet Seagal, Ph.D., University of
Texas, Austin, dalam Journal of Clinical Psychology.
"AYO BELAJAR!", begitulah perintah orang tua terhadap anaknya ketika
sang anak ketahuan sedang asyik menonton televisi atau bermain game.
Kalimat generik dari orang tua mana pun, bahkan hal serupa pernah
kita alami ketika kita masih kanak-kanak. Namun, rasanya kita jarang
mendengar atau bahkan tak pernah ada orang tua yang menyuruh anaknya
untuk menulis? "Ayo menulis!", pernahkah Anda mendengarnya?
Betul, menulis. Tak lazim memang perintah itu. Bagi anak-anak yang
masih terbatas kemampuan menulisnya pasti akan mendelik. "BT ah"
mungkin kalimat itu yang akan keluar dari mulutnya. Lagi pula,
jangankan anak-anak, orang dewasa pun pasti akan kesulitan untuk
diberi perintah seperti itu. Menulis?
Betul, menulis. Sederet kalimat akan meluncur. Bila semua orang bisa
menulis, tentu negeri ini akan penuh dengan karya sastra. Mungkin
juga sastra tidak akan ada lagi, kalau semua orang bisa menulis,
apalagi dengan kalimat yang indah dan berirama layaknya pujangga.
Menulis memerlukan keterampilan tersendiri. Benarkah demikian?
Tidak juga sebenarnya. Pada dasarnya setiap orang dapat melakukan
kegiatan tulis-menulis, bahkan secara menyenangkan. Tak ada
keterampilan atau keahlian khusus dalam menulis. Anda mungkin
mengenal nama Rachmania Arunita. Dia adalah perempuan muda pengarang
novel remaja best seller, `Eiffel, I'm in Love'. Rachma mengaku pada
awalnya tidak suka menulis. Tapi ketika guru bahasa Prancis
mewajibkan murid-muridnya untuk membuat sebuah karangan, dia mulai
ketagihan menulis. Rachma berkisah, awalnya ia sering melakukan
plagiat alias menjiplak tapi ketahuan. Rachma pun kena omel dan
dihukum untuk membuat PR mengarang. Tak diduga, hasil karangannya
mendapat acungan jempol gurunya bahkan dipuji di depan kelas. Mulai
dari situ Rachma pun ketagihan menulis hingga akhirnya ia menelurkan
novelnya yang ternyata meledak di pasaran. Bahkan kemudian diangkat
dalam film dengan judul yang sama.
Persoalan lain yang kerap mengganggu proses menulis adalah soal
mood. Lainnya? Fasilitasnya tidak tersedia dengan lengkap, seperti
komputer, laptop atau lainnya. Ah, itu sih alasan klasik. Lihatlah
Agatha Christie, pengarang novel misteri terkenal. Anda mungkin bisa
membayangkan susahnya orang menulis saat itu, di zaman tahun 1920-
1930an. Namun dengan segala keterbatasan peralatan, lahir novel-
novel berkelas dunia dari Agatha Christie, Ngaio Marsh, Sir Arthur
Conan Doyle dan seabreg pengarang top lainnya.
Jadi sesungguhnya yang paling penting untuk menulis ialah niat dari
awalnya. Kesungguhan tanpa dimulai dengan niat pada awalnya, tentu
tak akan terlaksana dengan baik. Orang bijak bilang bahwa cara yang
paling sederhana untuk menumpahkan isi hati dan pikiran adalah
dengan menulis, karena bila tidak, ia seperti sebuah saluran, suatu
saat tersumbat dan meledak.
Seorang wanita bernama Dewi Hermayanti dalam suatu milis
menceritakan unek-uneknya. Dewi mengatakan, "Kadang-kadang perlu
rasanya untuk mengeluarkan apa yang ada di hati lewat tulisan.
Apalagi rasanya sudah menyesak di dada. Cuma apa yang harus ditulis,
bingung tidak tahu mau nulis apa, tapi rasanya memang perlu
menulis. Aneh memang. Tapi begitulah, Andai saja otak kita punya
tombol print mungkin gampang saja mengeluarkan isi otak kita.
Tinggal pencet print terus select subject, langsung keluar deh apa
yang mau kita ungkapkan dalam tulisan. Sayang, otak kita cuma bisa
memerintah si tangan untuk bergerak sesuai yang diperintahkan. "
Terkesan dengan unek-unek tersebut, Pak Hernowo dari Penerbit Mizan,
menanggapi posting Ibu Dewi. Dia pernah melakukan studi kecil-
kecilan tentang kegiatan menulis. Selama melakukan studi itu, nah
ini yang penting, ia kemudian bertemu dengan Psikolog Pennebaker
yang menganggap menulis dapat mengatasi depresi. Menulis itu dapat
menyehatkan tubuh dan jiwa. Pennebaker meniru tradisi confession
dalam agama Katolik dan menerapkannya pada pembuatan catatan harian.
Bahkan seorang penulis kondang, Fatima Mernissi, juga bilang bahwa
menulis setiap hari dapat mengencangkan kulit wajah. Hernowo pun
bercerita bahwa ia bertemu dengan ahli linguistik bernama Dr.
Stephen D. Krashen. Penelitiannya menunjukkan bahwa menulis dapat
memecahkan problem-problem diri. Katanya, menulis itu menata
pikiran. Jadi, kalau kita dapat menata problem kita, bisa jadi
problem kita bisa hilang. Dan dia juga membuktikan bahwa menulis dan
membaca itu tidak dapat dipisahkan. Membaca itu memasukkan, dan
menulis itu mengeluarkan. Demikian Hernowo menjelaskan dalam
postingnya.
Keampuhan menulis tidak saja dialami Hernowo dalam penelitian kecil-
kecilannya itu. Dari seberang sana, tepatnya di Amerika Serikat,
Joshua M. Smyth, psikolog dari Syracuse University lebih jauh lagi
menyatakan menulis dapat menghasilkan perubahan pada sistem imunitas
dan hormonal dalam merespons beban stres, dan meningkatkan hubungan
dan kemampuan kita menghadapi stres.
Contohnya, ada juga. Dia adalah Debra Van Wert, 44 tahun, dari
Rochester, New York, setelah menderita Pre-Menstrual Syndrome (PMS)
atau sindrom menjelang menstruasi selama lebih dari satu dekade,
Debra mulai mencatat gejala-gejala yang dialami tubuhnya. Debra
mengatakan, "Dengan membuat catatan, saya dapat mengantisipasi fase-
fase hormonal dan mengidentifikasi minggu kapan saya berada pada
kondisi paling fit dan paling buruk."
Kegiatan menulis tidaklah dimaksudkan untuk menjadi sastrawan besar,
tapi paling tidak punya manfaat bagi kesehatan. Sebagaimana dikutip
dari Majalah Reader Digest Indonesia, April 2005, berikut adalah
sejumlah keuntungan dari menulis:
MENGURANGI BERAT BADAN. Para peneliti dari Women's Health
Initiative menarik kesimpulan bahwa catatan harian tentang makanan
yang dikonsumsi membantu menimbulkan kesadaran tentang konsumsi
kalori dan asupan lemak. Dan jika Anda mengetahui seberapa banyak
yang telah dilahap, akan lebih mudah menguranginya.
MENINGKATKAN KUALITAS TIDUR. Ilmuwan di Temple University menemukan
bahwa wanita yang menuliskan pengalaman traumatisnya – seperti
pemerkosaan atau kecelakaan lalu lintas yang parah - ternyata jarang
mengalami sakit kepala, susah tidur, dan gejala depresi dibandingkan
mereka yang tidak mau menuliskannya.
MELAWAN PENYAKIT. Berdasarkan sebuah penelitian pada tahun 2002 di
Ben-Gurion University, Israel, disimpulkan bahwa mereka yang
menuliskan sebuah kejadian yang menjadi beban pikiran, akan
mengurangi frekuensi kunjungan mereka ke klinik pengobatan selama l5
bulan ke depan.
MENGURANGI STRES. Sebuah studi di Chicago Medical School menemukan
bahwa ketika penderita kanker yang kurang diperhatikan keluarganya
menuliskan tentang penyakit yang diderita selama 20 menit setiap
hari, mereka jadi jarang mengalami stres selama enam bulan
berikutnya.
Nah, mengapa Anda tidak menyiapkan pulpen dan kertas untuk mulai
menulis sejak sekarang. Karena ternyata menulis bukan hanya
menyenangkan, tapi juga menyehatkan lahir dan batin. Bahkan bisa
jadi Anda dapat menangguk untung karenanya. Dan, jangan lupa, bila
suatu saat Anda sakit, setidaknya satu resep sudah di
tangan: "menulis". Ini bukan sekedar lelucon. Penelitian telah
membuktikannya. So, tunggu apa lagi? Ayo Menulis!