Selasa, 26 Februari 2013

Gagal Jadi Penulis Hanya Karena Email

Ratusan email, setiap harinya berdatangan. Email-email itu diseleksi oleh sekred. Yang isinya laporan atau pertanyaan langsung di handle olehnya, sementara untuk naskah atau contoh ilustrasi biasanya diforward ke aku.Tentu aku gak akan sanggup membacanya satu persatu setiap hari. Ada jadwal hari-hari tertentu di mana aku membuka email dengan jumlah email yang terbatas. Itu sebab antrian pembacaan email padat merayap.

Di saat padat merayap dengan mata yang mulai kunang-kunang, tentu semakin mengesalkan saat mendapati email dengan kata pengantar yang berkesan perintah. Jika sudah begitu, tanpa membuka file attachment-nya lagi, aku akan abaikan email itu atau malahan langsung aku delete. Kedengerannya kejam. Tapi begitulah.
Dan ini 2 contoh email yang termasuk paling sopan di antara yg paling mengesalkan itu :
1.
Kepada
Yth. Redaktur Majalah xxx
di tempat.
Dengan hormat,Bersama ini saya kirimkan beberapa contoh gambar karya saya. Mohon dibuka dan diamati, mungkin saja ada style gambar saya yang cocok di hati dan sesuai kualifikasi sebagai ilustrasi. :)Mohon konfirmasinya SEGERA. Jika ada kritik dan saran, silahkan hubungi saya. Sekian dari saya. Mohon pertimbangannya­ :)Terima kasih.
Hormat saya,
xxxx
---------aku sangat tidak suka dengan kalimat: "mohon dibuka dan diamati". Secara logika, tanpa disuruh pun aku akan 'membuka dan mengamati' bahkan sampai memelototi dengan seksama. Alangkah baiknya jika kalimat itu ditulis; mohon dipelajari karya saya ini, mungkin saja ada stule yang.. bla bla la.Lalu aku juga sangat tidak suka dengan kata SEGERA yang ditulis kapital pula. Hei, aku juga pinginnya sesegera mungkin mengenyahkan emailmu!
2.
Kepada
Yth. Managing Editor xxx
di tempat
Ini naskah cerpen saya. Dibaca ya. Semoga cocok. Saya tunggu konfirmasinya ke nomor telepon xxxxx. Jika dalam waktu 3 minggu naskah ini tak mendapat jawaban apa pun, saya akan menariknya dan mengirimkannya ke media lain. Demikian harap maklum.
Hormat saya,
xxxx.
---------- dan harap maklum, kalau naskah itu baru aku baca 7-10 bulan kemudian
Plis, deh. Aku wonder women yang punya kecepatan membaca 500 kata dalam dua detik, juga bukan pesuruhmu yang harus tunduk dan taat membaca naskahmu sebelum 3 minggu (aih 3 minggu?) dan mengabaikan naskah-naskah hebat lainnya, bukan?
Teman-teman, maaf atas catatan ini. Namun, layaklah kita ketahui bagaimana kita bersantun dalam menawarkan karya kita ke media.
Nggak. Media gak segitu gila hormat, tapi bagaimana pun etika saat menawarkan naskah mestinya diperhatikan. Bagaimana membuat redaktur terpikat akan bahasa yang mengantar naskah tersebut.
Seperti juga ketika kita sedang menarik perhatian seseorang, kita akan berlaku baik dan menyenangkan. Bukan mengintimidasi dengan perintah dan ancaman. Redaktur juga manusia. Apalagi dia disebut sebagai 'penentu nasib' naskah kita.
Ya, aku katakan bahwa kedua email di atas itu adalah email yang paling sopan di antara yang menjengkelkan. Tapi tetap aja bikin naik darah. Aku gak akan menayangkan email-email lain yang bahasanya jauh lebih bossy ketimbang dua email di atas sebagai contoh, karena dengan 2 contoh itu saja, aku yakin sudah cukup mewakili bagaimana 'bete'-nya redaktur.
Redaktur pada umumnya lebih suka pengantar yang isinya normal-normal aja, gak dibuat-buat dan gak ada tekanan. Lebih disukai lagi kalau langsung dilengkapi dengan biodata agar mudah saat menghubungi.
Dan lebih disukai lagi kalau setelah mengirim naskah di email tsb, duduklah yang manis. Jangan meneror sekred atau redaktur lewat email berikutnya (tau malahan tlp ke kantor redaksi) terus-menerus, semata hanya untuk mengetahui nasib email yang baru dikirim 4 minggu lalu.
JIka masa menunggu telah terlalu lama, misalkan sudah 8-9 bulan atau setahun lebih, silakan mengirimkan email konfirmasi sekaligus forward-an email sebelumnya sebagai pengingat.
Jika masih belum ada tanggapan juga, silakan lemparkan naskah tersebut ke media lain, tetapi tentunya dengan terlebih dulu mengirimkan email surat penarikan naskah pada media sebelumnya.
Menjadi penulis muda yang beretika sebenarnya gak ribet kok.
Salam. 




Oleh Erin Erina/Reni Teratai Air II, Redaktur Majalah Story.

ROYALTI, DAMBAAN SETIAP PENULIS

Benarkah? Maka, jawabnya benar. Tapi, itu hanya salah satu dari hal-hal yang menjadi tujuan atau keinginan seorang penulis. Menurut saya pribadi, royalti buat saya bukan tujuan utama. Tujuan utama saya menulis adalah mengungkapkan hasil pemikiran/imajinasi saya. Namun tiap orang tentu berbeda tujuannya.

Sebagai pengelola grup kepenulisan dan berapa kali menyelenggarakan kegiatan lomba menulis yang akhirnya naskah-naskah terbaik akan ditebitkan menjadi buku, timbul kegelisahan (pertanyaan) di kalangan peserta. Jika naskahnya lolos untuk diterbitkan, akankah mendapatkan royalti? Padahal di informasi lomba, sudah dijelaskan kontributor yang naskahnya lolos untuk diterbitkan tidak mendapatkan bukti buku terbit maupun royalti, tetapi akan mendapatkan diskon pembelian buku 10% dari harga jual.

Lewat tulisan ini, saya ingin menjelaskan, mengapa tidak mendapat buku bukti terbit dan tidak mendapat royalti sebagai salah satu syarat lomba. Perlu diketahui, buku-buku hasil karya Lomba Grup PEDAS, diterbitkan secara indie. (dibiayai sendiri) Mengapa tidak ke penerbit mayor? Penerbit mayor tidak menerima naskah buku yang ditulis secara keroyokan kecuali ditulis oleh penulis-penulis yang memang sudah punya nama, misalnya Kumpulan Cerpen Tahunan Kompas. Buku itu ditulis oleh penulis-penulis yang karyanya sudah dimuat di harian tersebut.

Pada penerbit Indie, biaya ditanggung sendiri. Ada kecenderungan sebagian penulis merasa puas naskahnya diterbitkan menjadi buku dan tak berminat membeli (entah memang tidak berminat atau tidak punya uang). Lalu, siapa yang membeli buku-buku tersebut, kalau penulisnya saja tidak mau membeli?

Pada artikel kompasiana yang berjudul “Mengintip Hitung-hitungan Royalti Penulis Buku”, (http://media.kompasiana.com/new-media/2012/01/06/mengintip-hitung-hitungan-royalti-penulis-buku/), si penulis mengungkapkan ada dua sistem bagaimana sebuah penerbit (mayor) menghargai karya seorang penulis. Pertama: royalti, dan kedua: jual putus. Besaran royalti itu bervariasi antara penerbit satu dan penerbit yang lainnya. Masing-masing penerbit memiliki policy masing-masing. Namun, besaran standar royalti penerbit di Indonesia adalah 10% dari harga jual eceran (bruto) per bukunya. Ada juga yang hanya mematok 5% dan 7%.

Dalam sebuah workshop di Jakarta beberapa waktu lalu, Ayip Rosidi, seorang pengarang senior yang juga mantan ketua Ikapi dan salah satu satrawan besar Indonesia, secara umum juga mengatakan, rata-rata royalti yang dibayarkan ke penulis memang sebesar 10% dari harga eceran (bruto).

Kembali ke artikel di atas. Disebutkan, kalau sistem beli putus, kisaran honor yang didapat penulis mulai Rp 1,5 juta sampai dengan Rp 15 juta, tergantung ketebalan buku, proyeksi pasar, dan kredibilitas penulis.

Dalam artikel tersebut si penulis mengambil perumpamaan pada penerbit mayor dengan jumlah cetak buku sangat besar. 5.000 buku.

Sekadar contoh, Achie T.M., penulis novel Cloud(y), novel pertamanya dibeli putus (kalau tidak salah) seharga Rp 2,5 juta (tahun 2007). Sekarang ia sudah punya nama. Cloud(y) novelnya yang ke-8, saya rasa sekarang tidak jual putus lagi. Lalu bagaimana dengan karya-karya penulis dari grup-grup kepenulisan yang notabene penulis pemula? (biarpun sudah punya antologi ke-70, 80, bahkan ke-100!).

Biaya menerbitkan buku secara indie dapat dilihat dengan mata telanjang karena para penerbit Indi terbuka mempublikasikan berapa biaya menerbitkan buku. Rata-rata menawaran Rp 350.000 mendapatkan satu atau dua buku bukti terbit yang dikirim ke rumah bebas biaya kirim. Penerbit indie akan membantu promosi/publikasi secara online. Cukupkah secara online? Tergantung jaringanmu. Semakin luas jaringan penerbit dan jaringanmu maka peluang buku diketahui orang banyak semakin besar. Tapi apakah itu mendorong orang untuk membeli? Jawabnya: tidak tahu.

Ada juga penerbit indie yang menawarkan untuk karya keroyokan (grup) Rp 1.000.000 mendapatkan 25 buku. Artinya harga 1 buku Rp 40.000. Sebuah buku karya grup biasanya ada sekitar 20 s.d. 30 kontributor. Lalu bagaimana hitungan pembagian royaltinya? Penerbit indie tidak akan memberikan royalti karena memang tidak ada royalti yang bisa dibagi. Buku dicetak berdasarkan permintaan (Print on Demand/POD), kelebihan sistem ini walau hanya ada satu permintaan buku tetap akan dicetak dan dikirim.

Penerbit indie kadang mendorong kontributor untuk menjadi pemasar untuk buku-buku yang  ada tulisannya, dengan memberikan kompensasi sekitar Rp 5.000/buku. Ini bisa juga disebut sebagai royalti. Semakin banyak kontributor menjual buku maka semakin besar royalti yang diterima. Sistem ini pada penerbit indie menjadi lebih adil, siapa bekerja keras maka akan mendapat hasil yang seimbang.

Ada juga dengan sistem investasi. Semakin banyak buku dicetak akan semakin murah harga produksi buku.
Seumpama  mencetak 200 buku. Harga produksi per buku sekitar Rp 25.000.
Harga jual buku =  Rp 25.000 + 20 % biaya promosi/publikasi + 40% keuntungan  
Rp 25.000 + Rp 5.000 + Rp 10.000 = Rp 40.000.Jadi harga jual per buku adalah Rp 40.000.
Keuntungan Rp 10.000 dibagi antara investor dan kontributor, masing-masing 50%
Jadi kontributor akan mendapatkan Rp 5.000 x 200 buku : 30 kontributor = Rp 33.000.

Tetapi, biaya transfer antarbank antara Rp 15.000 s.d. Rp 35.000 bila bank berbeda (hanya bebas biaya kalau banknya sama). Artinya, untuk biaya transfer saja ada kemungkinan minus. Itu pun kalau terjual 200 buku, dan belum diketahui 200 buku itu akan terjual dalam rentang waktu berapa lama. Biasanya royalti dikirim per tiga bulan.

Maka, investor pun menerapkan sistem seperti yang diterapkan penerbit indie, memberikan Rp 5.000/buku dari buku yang dijual si kontributor. Misalkan tiap kontributor menjual 10 buku, maka untuk menjual 200 buku hanya diperlukan 20 orang kontributor. Dan besarnya royalti yang diterima pun lebih besar (Rp 5.000 x 10 buku = Rp 50.000) Ini pun menjadi lebih fair. Siapa menjual banyak dan cepat maka akan mendapat banyak dan cepat juga (mungkin tidak sampai rentang waktu  3 bulan).

Kalau ada yang bilang, enak yang jadi investor dong. Maka saya akan berkata, tidak ada larangan siapun menjadi investor. Kalau memang enak menjadi investor mengapa sedikit sekali yang bersedia? Bagaimana kalau buku gagal di pasaran, apakah para kontributor menanggung resiko? Jawabnya tidak. Risiko ada pada investor. Pada sistem ini, penerbit indie pun tidak menanggung risiko karena mencetak hanya berdasarkan permintaan.

Semoga tulisan ini membuka wawasan para penulis pemula. Saya dari dulu bercita-cita menjadi penulis tapi saya tidak menjadikan menulis sebagai mata pencarian. Jika dari karya saya yang dimuat di media cetak, saya mendapat honor, maka itu saya anggap bonus. Tulisan-tulisan saya adalah jejak keberadaan saya. Jika ada yang menghargai secara materi, itu sebuah kehormatan. Tapi dibaca, diapresiasi dengan dikomentari saja, juga sudah menjadi sebuah kehormatan yang tak bisa dinilai dengan materi.

Note: Untuk sukses buku ini tersebar ke mana-mana dan di beli banyak orang, maka kontributor mempunya peran besar. Kontributor harus mampu menjelaskan mengapa karyanya yang ada di buku tersebut perlu di baca. Bukan cukup puas sudah terbit lalu coverbuku di tag ke-mana-mana (sebatas fb) dengan pesan telah terit antologi saya yang pertama/antologi saya yang ke 25. beli yah.

Maka saya kerap bertanya, siapa kamu, dan bagaimana karyamu sehingga saya harus/perlu membeli antologimu? karena pemasarannya secara online, pertanyaan itu tidak terjawab. Dan Si Kontributorpun tidak mendapat feedback apa-apa, karean saya yakin seyakin-yakinnya hanya 10 % kawan yang di tag yang mau berkomentar dan kurang dari 1% yang mau membeli.

Jadi laku atau tidak lakunya buku-buku dari penerbit Indie bukan kurang secara kualitas api peran serta kontributor yang minim dan ketidak tahuan kontributor untuk menyampiakan informasi mengani produknya (buku) dengan benar.


Elisa Koraag

Rumah

Lalu. Disini, di bumi ini tempat aku berpijak merasakan tiap peluhku adalah peluhmu juga. Tanah ini adalah rumah segala cinta yang merasuk tanpa cela. Hingga entah, aku menunggu di tanah ini

 Akan aku bela dengan sepenuh jiwa
Pertaruhkan semua cinta yang aku punya
Mereka yang mencoba merenggut paksa
Hadapilah aku yang tak akan mundur walau setapak


 Cinta yang membuatku lena,
Akan indahnya zamrud khatulistiwa.
Hijau.. biru.. segala rupa. Segala ada.
Disini, lukisan cinta menentramkan hati..


 Tak peduli semua mata yang memandang sinis.
Bagiku, ia bak sarang penyejuk gundah, terindah.
Setia menunggu, meski aku berkelana ke mana.
Ia, tempatku kembali.


 Ya, disanalah darah mulai mengalir menjadi sebuah rindu yang mewaktu. Tempat segala kenangan yang terbungkus erat di jalanan waktu.

 Erangan kesakitan yang mengalirkan luka kepedihan
Akan aku tebus dengan buaian rindu yang memabukan
Bumi pertiwi tak akan aku biarkan luluh dan hancur
Karena jamahan manusia bertopeng setan


 Dulunya.. Ya. Dulunya.
Ketika mereka belum bertopeng seram,
Mereka pun layaknya kita. Dibawah satu rasa.
Cinta. Lalu apa yang merubah mereka?


 Harta dan tahta yang menyulap sosok mereka, buta.
Lalu haruskah kusembunyikan ia sebelum lara?
Tak rela, jika ia bermuram durja.
Rumahku, rumahmu, rumah mereka. Bisakah tak jadi usang?


 Tidak, bukankah tempat kita berpijak ini terbuat dari cinta. dan diantara orang terpilih yang tinggal disini ialah mereka yang di wajahnya selalu bersinar. Wajahnya renyah dengan harap yang membuncah

 Iya harapan akan cinta
Takut kehilangan yang datang tiba-tiba
Kala alam mulai menggeliat
Mengguncang merobohkan cinta dalam dekapan


 Dan ketika waktunya tiba, ia bangun dalam geliat..
Sisanya adalah tangis. Muram durja.
Dan itu yang paling tak diinginkan.
Lalu bagaimana kita membuatnya mundur?


 Tetesan bening menggenang di sudut mata, merasakan pedihnya.
Kala ia terluka, namun jiwa-jiwa yang tertidur hanya diam saja!
Melihatnya dikuliti, dikupas hingga isinya terserak.
Sudikah, rumah kita menahan perih yang mendidih?


 Kau tahu, rumah kita adalah sebuah istana. Istana tempat segala aku akan mendekapmu hingga langit yang ada di tanah tempat kita berpijak menjadi pencemburu. Di kepalaku aku punya banyak rencana. Tentang kita

Rencana yang indah menggoda sukma
Harapan dan impian kita sejak lama
Bertahta dalam bahtera cinta
Berbingkai alam nirwana khatulistiwa


 Dan rencana itu hanya bisa diwujudkan..
Ketika kita aman dalam dekapannya. Bunda pertiwi.
Siapa yang takkan mau merasakannya?
Ah.. cintaku hanya berbuah dalam harapan untuknya..


 Dan ketika aku mencinta,
Aku tak 'kan lagi lupa menyisipkan selembar doa.
Sembari menyimpul senyum dari hati..
Semoga ia, istanaku, tanah airku, bahagia, untuk kita.



Untuk seluruh pasukan kelompok V Puber

Senin, 25 Februari 2013

KETIKA AKU DAN KAMU ADALAH CINTA…”


Pada tubir malam yang remang, berdiriku gamang.
Larik-larikku terangguk-angguk dalam saruk.
Tak ada yang terkenang, hanya bimbang.
Oh, aku tak ingin terpuruk.


Datu Dwija Jati Dunia
Kemudian gerimis jatuh di pangkuanku. Seharusnya aku
tak menangis, ketika aku melihat punggungmu mulai menjauh
dan menghilang dari pekat. Saat itu aku ingin
kau berhenti dan melihat ke belakang, lari memelukku.

Auliia Akmaliina
Dan ketika aku menjauh, ketahuilah. Hanya kau!
Hanya kau tempat hatiku kembali.
Hati? Benar. Hatiku yang dulu disepuh perak rindu.
Hatiku yang dulu, dan sampai nanti, hanya untukmu.

BeLy JuBelynz
Bisakah aku? Sejujurnya menjauh darimu adalah petir
Membuatku takut, sembunyi di balik rasa yang menyihir
Jangan melangkah, diam saja!
Jika kauputuskan ‘tuk melangkah, mendekatlah!

Nurlaeli Umar
Semoga bimbang meradang
Menggoyahkan hatimu berlari kepadaku
Aku terlalu malu mengakui sebuah rindu
Rindu dalam damai di palung cintamu.

Datu Dwija Jati Dunia
Tak usah berlari ke arahku.
Kau sudah mengoyak seluruh hatiku.
Menjadi lebam yang mewaktu di dadaku.

Auliia Akmaliina
Lebam? Maaf. Aku tak bermaksud.
Tapi kau juga harus tahu, lebam pula hatiku.
Sejak dunia kita bertemu dalam sepotong yang sama.
Dan terkoyak di bagian yang sama. Karena mereka.

BeLy JuBelynz
Mereka? Aku, kau, ataukah cinta?
Luka yang mendarah di sudut hatimu
Hanya serpihan rinduku yang perlahan mengulitiku: mati.

Nurlaeli Umar
Haruskah aku tertawa ketika luka bercinta hadir
Lalu kau memalingkan muka
Mencari pembenaran?
Hatimu sakit merindu! Akui saja!

Datu Dwija Jati Dunia
Sebenarnya aku tak ingin menjauh.
Anggap saja aku adalah bau badan yang sangat bau
menempel di badanku.
Sehingga membuatmu teringat akanku.

Auliia Akmaliina
Mereka-mu. Mereka-ku. Semua yang tercakup cinta abadiku.
Mereka yang mengatasnamakan ego.
Mereka yang membuat hatiku kaku dicabik rindu.
Dan membuat ingatanku semakin dilekati namamu. Lelaki rindu.

BeLy JuBelynz
Mengapa tak kau abaikan saja tentang 'mereka'?
Sulitkah jika hanya aku?
Ya, aku, meski dengan setengah sayapku yang remuk
Tetap memelukmu.

Nurlaeli Umar
Kau melukai dirimu dengan prasangka
Aku tenggelam dalam dalam hujat yang merajalela
Jika kita adalah mawar dan harumnya
Mengapa harus aku atau kau, tidak kita?

Datu Dwija Jati Dunia
Aku mulai takut melukaimu. Mungkin aku akan dikutuk
Tuhan jika aku melukaimu. Maafkan aku, aku mencintaimu
seperti aku bernapas. Dapatkah kauhitung berapa kali
aku bernapas tiap hari? Sedalam itu cintaku padamu.

Auliia Akmaliina
Maaf, Tuan. Maaf, kau pun luka lebih daripadaku.
Meski abai itu kelak menjadi duri dalam dagingku,
Kuambil risikoku. Aku maju.
Untuk memperjuangkanmu: cerita berjudul cinta.

BeLy JuBelynz
Ah, mengapa kau begitu manis, Nona?
Kembalikanlah senyummu yang hilang sedari tadi
Terasa sesak, jika kau dekat,
namun aku tak terlihat.

Nurlaeli Umar
Sedalam itu pula cintaku berbicara
Membilang rasa hingga lupa siang malamnya
Hanya untukmu kekasih hati arjuna cinta
Yang kupuja dalam tiap detak jantung di dada

Datu Dwija Jati Dunia
Kamu akan selalu kupuja. Karena kamu,
aku tak akan punya pilihan lain selain mencintaimu.
Kau tahu? Jika cinta itu peluru, aku akan
menembakkannya ke udara, berubah menjadi hujan yang kaukecup.

Auliia Akmaliina
Dan kini aku menjanjikan satu padamu.
Jadilah pengingat kala lupaku. Saat aku lupa mencintaimu.
Lupa merindukanmu. Lupa senyumku.
Ini aku. Cinta kamu. Sepenuh hatiku.. milikmu..

BeLy JuBelynz
Layaknya putih bulan, setia membelai malam
Juga kabut mengiringi hujan berlari
Tangan pun gemetar, ingin memeluk-merasuk ke singgasana hati
Nona, jadilah Peri Kecil di sekelilingku yang kesepian.

Nurlaeli Umar
Mataku dan matamu juga bintang malam ini
Tampak terang, Kekasih
Genggam jemari, jangan pernah kaulepaskan lagi.
Tuhan, restui kami dalam cinta abadi.

Datu Dwija Jati Dunia
Ini detik ketika aku akan pergi, kembali lagi pada bayanganmu
dan menggenggam jemarimu yang berjarak.
Peluklah aku dalam sepi yang menyayat dan rindu yang membuncah
di dada waktu. Tuhan telah mengabulkan doaku. Aku jatuh padamu.

Senin, 11 Februari 2013

Politik Sayembara Sastra

oleh Saut Situmorang

Dalam kolom Kehidupan bertajuk “Bayang-bayang Perempuan Pengarang” (Kompas, Minggu 7 Maret 2004) tentang fenomena makin banyaknya jumlah pengarang fiksi berjenis kelamin perempuan bermunculan di Indonesia akhir-akhir ini, terutama dalam konteks Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2003 yang tiga pemenang utamanya adalah pengarang perempuan, terdapat kutipan pernyataan dari Sapardi Djoko Damono berikut ini: “Masa depan novel Indonesia ada di tangan perempuan, karena lelaki lebih bodoh dan malas membaca.” Beberapa tahun sebelumnya, dalam kesempatan publikasi pemenang Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998 yaitu Saman karya Ayu Utami, yang kemudian dipasang sebagai blurb atau deskripsi promosional di sampul-belakang naskah yang diterbitkan itu, Sapardi Djoko Damono juga membuat pernyataan bombastis yang sensasional: “Dahsyat . . . memamerkan teknik komposisi yang – sepanjang pengetahuan saya – belum pernah dicoba pengarang lain di Indonesia, bahkan mungkin di negeri lain.”
Tapi apa yang sangat mengherankan saya adalah bahwa kedua pernyataan bombastis di atas justru datang dari, menurut Kompas dimaksud, seorang “tokoh kawakan”, “sastrawan sekaliber” Sapardi Djoko Damono – penyair, redaktur, eseis, penterjemah, profesor sastra, dan akhir-akhir ini, cerpenis – yang bahkan “telah terlibat dalam aktivitas [penjurian Sayembara Dewan Kesenian Jakarta] sejak tahun 1970-an.” Mengherankan juga karena sampai saat ini saya masih belum melihat adanya respons kritis dari masyarakat sastra Indonesia yang, paling tidak, berusaha memaksa Sapardi Djoko Damono untuk mengelaborasi pernyataan-pernyataan publiknya tersebut, lewat polemik di media massa misalnya. Masih hidupkah sastra kontemporer Indonesia?
Kita tentu saja tidak harus setuju dengan kedua pernyataan Sapardi Djoko Damono tersebut, apalagi kalau diingat bahwa karya-karya para pengarang perempuan yang dirujuknya itu adalah karya-karya yang “dipilihnya” sebagai pemenang dalam dua Sayembara Dewan Kesenian Jakarta di mana dia merupakan salah seorang jurinya. Dia memang memiliki kewajiban untuk mempertahankan/membela karya-karya yang dimenangkannya itu di hadapan publik sastra Indonesia.
Apa yang mesti kita pertanyakan adalah bombasme kata-kata yang kelihatan memang sengaja dipakai Sapardi Djoko Damono untuk membuat kontroversial sesuatu yang sebenarnya tidak memiliki apa-apa yang mesti dibuat sensasi. Dari kelima pemenang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2003, terdapat dua orang pengarang laki-laki, yaitu Gus tf Sakai dan Pandu Abdurrahman Hamzah. Berdasarkan fakta ini, kita bisa mempertanyakan Sapardi di manakah relevansi pernyataannya bahwa “masa depan novel Indonesia ada di tangan perempuan, karena lelaki lebih bodoh dan malas membaca.” Seandainyapun kelima pemenang Sayembara tersebut berjenis kelamin perempuan semuanya, tetap masih terasa sangat mengada-ada untuk membuat klaim bahwa “masa depan novel Indonesia ada di tangan [pengarang] perempuan” Indonesia, seolah-olah naskah novel mereka yang kebetulan dimenangkan itu akan dengan pasti mengakibatkan suatu perubahan hakiki dalam dunia novel kontemporer Indonesia. Blurb dari pernyataan Sapardi pada sampul-belakang novel Saman Ayu Utami seperti yang saya kutip di awal esei ini bisa juga kita pertanyakan secara sederhana begini: “Teknik komposisi” yang bagaimanakah yang sebenarnya dipamerkan oleh Saman yang – sepanjang pengetahuan Sapardi Djoko Damono – belum pernah dicoba pengarang lain di Indonesia, bahkan mungkin di negeri lain itu? “Teknik komposisi” dalam pengertian narasi narsistik-masturbatori atas genitalia perempuankah (yang menghasilkan voyeurisme katarsis) yang dimaksudkan juri-cum-pengarang laki-laki ini? Kemudian, di manakah relevansi “pengetahuan [sastra]” seorang Sapardi Djoko Damono dengan “kedahsyatan” novel Ayu Utami itu? Dalam kata lain, siapakah yang bisa menjamin bahwa “pengetahuan [sastra]” Sapardi Djoko Damono memang merupakan pengetahuan standar atas novel, apalagi kalau kita kaitkan hal ini dengan klaimnya yang lain bahwa “[pengarang] lelaki [Indonesia] lebih bodoh dan malas membaca”?!
Problem sastra Indonesia saat ini adalah para penulis berjenis kelamin laki-laki yang karena usia tua jadi sudah mulai pikun kemampuan berbahasanya. Dari kedua pernyataan Sapardi Djoko Damono di atas terlihat bahwa Sapardi sering lupa bahwa “seleranya” sebagai seorang juri sayembara BUKAN mewakili selera mayoritas pemikir sastra Indonesia. Dalam konteks sebuah sayembara, beda juri/generasi tentu akan beda selera bacaannya dan tidak mustahil untuk tidak menghasilkan beda pemenang. Di sisi lain, sikap yang seolah-olah mendukung pengarang perempuan seperti yang ditunjukkan pernyataan-pernyataan Sapardi tersebut bisa juga dicurigai sebagai cuma sebuah refleksi sisa-sisa sikap patronising pengarang laki-laki tua terhadap para pengarang perempuan muda yang tiba-tiba menjamur jumlahnya dibanding periode sebelumnya, periode di mana para pengarang patriarch ini sedang jaya-jayanya. Tidak tertutup kemungkinan bahwa timbulnya sikap ini disebabkan adanya rasa ketakutan/kecemasan Oedipal terhadap eksistensi para penulis laki-laki muda yang akan menjadikan mereka tinggal sejarah, sekedar pengisi daftar who’s who di mata pelajaran sastra sekolah menengah misalnya, maka mereka lebih bisa “menerima” para pengarang perempuan muda yang lantas mereka puja-puja.

Selasa, 05 Februari 2013

Perjalanan Rasa

Adalah takdir yang pasti hadir
Membekap mimpi di titik nadir
Selamat pagi kamu, pemilik pelukan hangat yang belum aku ketahui sekarang. Takdir yang telah dituliskan Tuhan dengan guratan abadi nya. Kau tahu? jika aku marah padamu, Tuhan juga akan marah padaku.(Datu )

Kamu.. Kamu adalah takdir yang pasti hadir,
Membekap mimpi di titik nadir.
Mata rindu yang terpejam semu..
Tetap tak lalai hadirkan sosokmu.. Di sini, di ujung hati.(Aulia)


Tapi mengapa kau patahkan mawar
Pemberianku di senja biru itu
Hingga durinya menancap di hati
Dan kelopaknya meruahi bumi (Nurlaeli)

  
 Seperti itukah aku? Bahwa aku adalah duri dalam dagingmu. Mulai sekarang aku akan mencintaimu dengan tekun. Karena mencintaimu adalah pekerjaan sepanjang hidupku. (Datu)

Terlalu mencintaimu kadang menyakitkanku
Terlalu merindu sampai terasa ngilu
Tapi berpaling darimu aku tak mampu
Kau adalah bayangan dalam diriku (Pelangi)


yang mencuri hangat dari hatimu, juga menghadirkan ngilu pada tulang-tulangku,. Aku menyerah, tanpamu aku lemah. ( Datu )

Bila begitu janganlah menyerah
Apalagi pasrah, raihlah hatiku
Jangan sampai jiwamu melemah
Cintai aku sebatas kau mampu ( Pelangi)


Aku tak melemah, aku hanya merasakan di dadaku selalu berkumandang namamu. ( Datu )

Senyumanmu menguatkanku
Meski harus tertatih-tatih menggapai hatimu
Meski harus menari di bawah hujan air mata
Deretan luka ini, tersisihkan oleh rasa cinta yang melangit. ( Belly)


Tunggu dulu, Tuan. Bagaimana bisa kau begitu?
Bertukar rindu dengan Nona lain selainku?
Dan kini malah aku yang makin lama meragu
Tuluskah hatimu berucap rindu padaku? ( Aulia )


Aku tak meminta hatimu, sedikit pun
Hanya izinkan aku memeluk hatimu dari jauh
Kan kujaga namamu dalam diam
Ah, kamu membuatku terbang sejauh angan-angan (Bely)


Terbanglah diingatanku. Pun jika aku tak ada disana carilah ditumpukan kertas kertas ingatan. Mungkin aku berserakan disana menunggu dengan sabar dan mengembara jauh diantara rinai nyeri dada sebelah kiriku yang menyayat.

Nona, jika aku tak bisa membalas satu pun surat darimu. Aku bukan hilang tapi hanya terlepas darimu. Boleh pinjam lengannya? Sebentar saja. Berpilin ( Datu )


Dan kini aku semakin meragu.
Siapakah itu, Tuan, yang kau sebut dengan ambigu?
Ribuan pesan kutitipkan bersama rembulan,
Menanti akankah kau sebut namaku bersama doamu.. ( Aulia )


Di sini yang bertahta hanya rindu
Pada angin, pada malam, pada pagi, pada langit
Hanya rindu yang tak ingin berpagut air mata
Sebab buncah di dada tiada terkira ( Nurlaeli)


Aku ingin memandang binar di
kelopak matamu
Aku ingin segurat senyuman indah
tetap mematri bibirmu
Aku ingin mencintai ragamu, jiwamu
juga hatimu

Hanya kamu ( Belly )

Meski begitu aku tak kalah langkah, Tuan yang tampan.
Jangan kira aku tak sama pandai berkata seperti mereka.
Aku hanya masih mencari kesempatanku menjeratmu,
Dimana kelak yang kaugumam hanya tanya akan hadirku.. ( Aulia )


Hingga kau datang mendekat-mendekapku
Seperti kumbang kesepian mengencani Mawar terlantar
Penuh cinta
Kemudian hati tak lagi mengganjil ( Bely )


Dan kini, sebelum tintaku menggores titik di kisah kita,
Ijinkan aku untuk mengulik isi hatimu, Tuan tampan.
Aku ataukah mereka yang berhasil menyita perhatian?
Dan jika aku, tanda mata dariku tentu kata cinta.. (aulia)


Maka tibalah saatnya aku menutup mata Aulia, meninggalkanmu dalam doa. Lelaplah bersama benderang rindu. Dan mengabadikan kebahagiaan kita. hingga entah.

Selamat malam kamu.
Jangan lupa bahagia ya ( Datu )


Saat malam mulai menurunkan tirai
Dan perbincangan menghilang dari ramai
Rindu bertemu rindu biar berlanjut dalam mimpi
Esok masih ada rindu masih ingin berbicara biarkan saja ( Nurlaely )