Benarkah? Maka, jawabnya benar. Tapi, itu hanya salah satu dari
hal-hal yang menjadi tujuan atau keinginan seorang penulis. Menurut saya
pribadi, royalti buat saya bukan tujuan utama. Tujuan utama saya
menulis adalah mengungkapkan hasil pemikiran/imajinasi saya. Namun tiap
orang tentu berbeda tujuannya.
Sebagai pengelola grup kepenulisan dan berapa kali menyelenggarakan
kegiatan lomba menulis yang akhirnya naskah-naskah terbaik akan
ditebitkan menjadi buku, timbul kegelisahan (pertanyaan) di kalangan
peserta. Jika naskahnya lolos untuk diterbitkan, akankah mendapatkan
royalti? Padahal di informasi lomba, sudah dijelaskan kontributor yang
naskahnya lolos untuk diterbitkan tidak mendapatkan bukti buku terbit
maupun royalti, tetapi akan mendapatkan diskon pembelian buku 10% dari
harga jual.
Lewat tulisan ini, saya ingin menjelaskan, mengapa tidak mendapat
buku bukti terbit dan tidak mendapat royalti sebagai salah satu syarat
lomba. Perlu diketahui, buku-buku hasil karya Lomba Grup PEDAS,
diterbitkan secara indie. (dibiayai sendiri) Mengapa tidak ke penerbit
mayor? Penerbit mayor tidak menerima naskah buku yang ditulis secara
keroyokan kecuali ditulis oleh penulis-penulis yang memang sudah punya
nama, misalnya
Kumpulan Cerpen Tahunan Kompas. Buku itu ditulis oleh penulis-penulis yang karyanya sudah dimuat di harian tersebut.
Pada penerbit Indie, biaya ditanggung sendiri. Ada kecenderungan
sebagian penulis merasa puas naskahnya diterbitkan menjadi buku dan tak
berminat membeli (entah memang tidak berminat atau tidak punya uang).
Lalu, siapa yang membeli buku-buku tersebut, kalau penulisnya saja tidak
mau membeli?
Pada artikel kompasiana yang berjudul “Mengintip Hitung-hitungan Royalti Penulis Buku”, (
http://media.kompasiana.com/new-media/2012/01/06/mengintip-hitung-hitungan-royalti-penulis-buku/),
si penulis mengungkapkan ada dua sistem bagaimana sebuah penerbit
(mayor) menghargai karya seorang penulis. Pertama: royalti, dan kedua:
jual putus. Besaran royalti itu bervariasi antara penerbit satu dan
penerbit yang lainnya. Masing-masing penerbit memiliki
policy
masing-masing. Namun, besaran standar royalti penerbit di Indonesia
adalah 10% dari harga jual eceran (bruto) per bukunya. Ada juga yang
hanya mematok 5% dan 7%.
Dalam sebuah
workshop di Jakarta beberapa waktu lalu,
Ayip Rosidi,
seorang pengarang senior yang juga mantan ketua Ikapi dan salah satu
satrawan besar Indonesia, secara umum juga mengatakan, rata-rata royalti
yang dibayarkan ke penulis memang sebesar 10% dari harga eceran
(bruto).
Kembali ke artikel di atas. Disebutkan, kalau sistem beli putus,
kisaran honor yang didapat penulis mulai Rp 1,5 juta sampai dengan Rp 15
juta, tergantung ketebalan buku, proyeksi pasar, dan kredibilitas
penulis.
Dalam artikel tersebut si penulis mengambil perumpamaan pada penerbit mayor dengan jumlah cetak buku sangat besar. 5.000 buku.
Sekadar contoh,
Achie T.M., penulis novel
Cloud(y), novel pertamanya dibeli putus (kalau tidak salah) seharga Rp 2,5 juta (tahun 2007). Sekarang ia sudah punya nama.
Cloud(y)
novelnya yang ke-8, saya rasa sekarang tidak jual putus lagi. Lalu
bagaimana dengan karya-karya penulis dari grup-grup kepenulisan yang
notabene penulis pemula? (biarpun sudah punya antologi ke-70, 80, bahkan
ke-100!).
Biaya menerbitkan buku secara indie dapat dilihat dengan mata
telanjang karena para penerbit Indi terbuka mempublikasikan berapa biaya
menerbitkan buku. Rata-rata menawaran Rp 350.000 mendapatkan satu atau
dua buku bukti terbit yang dikirim ke rumah bebas biaya kirim. Penerbit
indie akan membantu promosi/publikasi secara online. Cukupkah secara
online? Tergantung jaringanmu. Semakin luas jaringan penerbit dan
jaringanmu maka peluang buku diketahui orang banyak semakin besar. Tapi
apakah itu mendorong orang untuk membeli? Jawabnya: tidak tahu.
Ada juga penerbit indie yang menawarkan untuk karya keroyokan (grup)
Rp 1.000.000 mendapatkan 25 buku. Artinya harga 1 buku Rp 40.000. Sebuah
buku karya grup biasanya ada sekitar 20 s.d. 30 kontributor. Lalu
bagaimana hitungan pembagian royaltinya? Penerbit indie tidak akan
memberikan royalti karena memang tidak ada royalti yang bisa dibagi.
Buku dicetak berdasarkan permintaan
(Print on Demand/POD), kelebihan sistem ini walau hanya ada satu permintaan buku tetap akan dicetak dan dikirim.
Penerbit indie kadang mendorong kontributor untuk menjadi pemasar
untuk buku-buku yang ada tulisannya, dengan memberikan kompensasi
sekitar Rp 5.000/buku. Ini bisa juga disebut sebagai royalti. Semakin
banyak kontributor menjual buku maka semakin besar royalti yang
diterima. Sistem ini pada penerbit indie menjadi lebih adil, siapa
bekerja keras maka akan mendapat hasil yang seimbang.
Ada juga dengan sistem investasi. Semakin banyak buku dicetak akan semakin murah harga produksi buku.
Seumpama mencetak 200 buku. Harga produksi per buku sekitar Rp 25.000.
Harga jual buku = Rp 25.000 + 20 % biaya promosi/publikasi + 40% keuntungan
Rp 25.000 + Rp 5.000 + Rp 10.000 = Rp 40.000.Jadi harga jual per buku adalah Rp 40.000.
Keuntungan Rp 10.000 dibagi antara investor dan kontributor, masing-masing 50%
Jadi kontributor akan mendapatkan Rp 5.000 x 200 buku : 30 kontributor = Rp 33.000.
Tetapi, biaya transfer antarbank antara Rp 15.000 s.d. Rp
35.000 bila bank berbeda (hanya bebas biaya kalau banknya sama).
Artinya, untuk biaya transfer saja ada kemungkinan minus. Itu pun kalau
terjual 200 buku, dan belum diketahui 200 buku itu akan terjual dalam
rentang waktu berapa lama. Biasanya royalti dikirim per tiga bulan.
Maka, investor pun menerapkan sistem seperti yang diterapkan penerbit
indie, memberikan Rp 5.000/buku dari buku yang dijual si kontributor.
Misalkan tiap kontributor menjual 10 buku, maka untuk menjual 200 buku
hanya diperlukan 20 orang kontributor. Dan besarnya royalti yang
diterima pun lebih besar (Rp 5.000 x 10 buku = Rp 50.000) Ini pun
menjadi lebih
fair. Siapa menjual banyak dan cepat maka akan mendapat banyak dan cepat juga (mungkin tidak sampai rentang waktu 3 bulan).
Kalau ada yang bilang, enak yang jadi investor dong. Maka saya akan
berkata, tidak ada larangan siapun menjadi investor. Kalau memang enak
menjadi investor mengapa sedikit sekali yang bersedia? Bagaimana kalau
buku gagal di pasaran, apakah para kontributor menanggung resiko?
Jawabnya tidak. Risiko ada pada investor. Pada sistem ini, penerbit
indie pun tidak menanggung risiko karena mencetak hanya berdasarkan
permintaan.
Semoga tulisan ini membuka wawasan para penulis pemula. Saya dari
dulu bercita-cita menjadi penulis tapi saya tidak menjadikan menulis
sebagai mata pencarian. Jika dari karya saya yang dimuat di media cetak,
saya mendapat honor, maka itu saya anggap bonus. Tulisan-tulisan saya
adalah jejak keberadaan saya. Jika ada yang menghargai secara materi,
itu sebuah kehormatan. Tapi dibaca, diapresiasi dengan dikomentari saja,
juga sudah menjadi sebuah kehormatan yang tak bisa dinilai dengan
materi.
Note: Untuk sukses buku ini tersebar ke mana-mana dan di beli banyak
orang, maka kontributor mempunya peran besar. Kontributor harus mampu
menjelaskan mengapa karyanya yang ada di buku tersebut perlu di baca.
Bukan cukup puas sudah terbit lalu coverbuku di tag ke-mana-mana
(sebatas fb) dengan pesan telah terit antologi saya yang
pertama/antologi saya yang ke 25. beli yah.
Maka saya kerap bertanya, siapa kamu, dan bagaimana karyamu sehingga
saya harus/perlu membeli antologimu? karena pemasarannya secara online,
pertanyaan itu tidak terjawab. Dan Si Kontributorpun tidak mendapat
feedback apa-apa, karean saya yakin seyakin-yakinnya hanya 10 % kawan
yang di tag yang mau berkomentar dan kurang dari 1% yang mau membeli.
Jadi laku atau tidak lakunya buku-buku dari penerbit Indie bukan
kurang secara kualitas api peran serta kontributor yang minim dan
ketidak tahuan kontributor untuk menyampiakan informasi mengani
produknya (buku) dengan benar.
Elisa Koraag